• Home
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Program Kerja
    • Pengurus
    • DPPA
  • Download
    • Logo
    • Kitab
  • Update Database
  • Home
  • Profil
    • Sejarah
    • Visi & Misi
    • Struktur Organisasi
    • Program Kerja
    • Pengurus
    • DPPA
  • Download
    • Logo
    • Kitab
  • Update Database
Toggle panel Social icons
Category:

Cerpen

Browse: Home / CSS Berkarya / Cerpen
16Mar2014

Pelangiku

by Kominfo CSS MoRA ITS in Cerpen

embun_dikembang1

Sinar mentari berebut masuk ke dalam kamarku saat kubuka jendela putih dekat meja belajarku. Terlihat pemandangan indah halaman samping rumahku. Semalam hujan mengguyur Bondowoso. Tampak embun menghiasi setiap pucuk daun pohon rambutan dan kuntum-kuntum mawar yang sudah tumbuh disana sebelum aku lahir.

“Tak kusangka aku sudah 17 tahun. Begitu cepat waktu berlalu,” pikirku sembari beralih ke meja belajar.

Di meja itu berserakan beberapa buku yang biasa kubaca. Beberapa di antaranya adalah novel-novel karya Agatha Christie, pengarang favoritku. Buku-buku itu tak satupun menarik perhatianku. Pikiranku tertuju pada sebuah pigura yang membingkai foto seorang lelaki. Lelaki itu selalu hidup dalam hatiku. Dialah jiwaku yang selalu mengikuti tiap derap langkahku.

Kutatap foto itu. Lelaki itu kurus dan tua tetapi hangat senyumnya. Ya, meskipun aku nyata-nyata tak lagi dapat melihatnya tersenyum dihadapanku, senyum dalam foto itu mampu menghangatkan jiwaku dan menginspirasiku.

Setelah itu, kuberalih pada pigura yang ada disampingnya. Pigura itu membingkai sajak-sajak buatanku yang aku masih ingat betul kapan aku membuatnya. Tanggal 26 September 2009 pukul 23.34.

Setiap kulihat dua pigura itu, pikiranku selalu melayang jauh pada masa laluku yang begitu indah. Suara nada pesan masuk ponselku membangunkanku dari lamunanku. Kuraih segera ponsel yang kebetulan di atas ranjang dan kubuka pesan itu.

Pertanyaan dalam pesan itu tak mampu mengalihkan perhatianku. Aku kembali ke lamunanku. Pikiranku terus melambung ke masa kecilku yang indah bersama lima kakak, ibu, dan lelaki dalam foto itu. Lelaki itu tak lain dan tak bukan adalah ayahku.

Semuanya serasa begitu indah. Aku adalah anak terakhir, anak emas ayah. Bukan hanya ayah, semua kakak dan ibuku sangat menyayangiku. Meskipun begitu, kurasa kasih sayang ayah besar dari mereka. Kurasa kasih sayangnya lebih dari sangat. Ia bukan hanya guru bagi siswa-siswi di sekolahnya tapi juga guru bagiku. Dialah pelangiku yang mewarnai indah hari-hariku. Kehadirannya di sisiku merupakan kekuatan tersendiri bagiku. Ayah selalu memotivasiku agar dapat sehebat kakak pertamaku. Kak Amar berhasil menembus Fakultas Teknologi Informasi ITS tanpa biaya sepeserpun dan sukses seperti sekarang. Ya, ayah begitu telaten memotivasi semua anaknya. Ibu selalu ada untuk mendukung kami. Dengan dukungan mereka rangkingku tak pernah keluar dari tiga besar dan lulus dari SD dengan nilai tertinggi. Aku begitu senang saat melihat hasil ujianku di sekolah. Aku dapat membuat ayah dan ibu bangga dengan prestasiku.

Saat itu, ayah sedang sakit dan dirawat di RS Bhakti Kusuma, Jember. Saat kutanya mengapa ayah dirawat di sana Kak Amira, kakak keduaku hanya berkata bahwa ayah hanya sakit karena kelelahan karena jam mengajar yang begitu padat.

“Ayah pasti senang dengan hasil ujianku,” pikirku kala itu.

Sepulang sekolah, di sepanjang jalan hanya ayah yang ada dalam pikiranku. Terpikir olehku untuk ikut Kak Amira ke Jember. Kebetulan masa liburan UNEJ sudah hampir habis dan Kak Amira berencana kembali ke Jember sore ini.

Rencanaku terlaksana. Aku ke Jember bersama Kak Amira dengan bus. Setiba di Jember, kami tidak langsung ke kos Kak Amira. Kami segera menuju rumah sakit tempat ayah dirawat. Tak sabar ingin kupeluk kedua orang tuaku dan kuceritakan semuanya.

Sampai di sana, kami segera mencari kamar ayah. Kami temukan kamar itu ada di lantai 3. Kami pun segera menaiki lift. Beruntung sekali, kamar ayah satu ruangan dari lift. Segera kami masuk ke kamar itu.

“Assalamualaikum,” ucap Kak Amira sembari mencium tangan ibu.

“Bu, ayah masih tidur?” tanyaku pada ibu sambil mencium tangannya.

“Iya, Nur. Ayah masih tidur. Kamu kok ikutan ke sini?”

“Nurani kangen ayah, Bu. Nurani mau ngasih kabar gembira ke ayah.”

“Ayahnya masih tidur. Kamu tunggu ayah bangun dulu ya, Nak. Biarkan ayah istirahat dulu.”

“Iya, Bu.”

“Gimana? Kamu lulus?”

“Iya, Bu. Nurani lulus,” sahut Kak Amira.

Tak sabar aku menunggu ayah bangun. Aku duduk menunggunya di sofa biru dalam kamar itu sembari menatap wajahnya. Kulihat wajah ayah semakin renta. Ia terlihat kurus.

Menit demi menit berlalu. Hampir sejam aku menunggu. Kulihat mata ayah terbuka saat jarum pendek jam menunjuk angka 7. Segera kuhampiri ayah.

“Ayah udah bangun?”

“Nurani?”

“Iya, ini Nurani. Yah, coba tebak. Nurani lulus. Aku dapat nilai tertinggi di sekolah.”

“Wah, anak ayah memang hebat!”

Kulihat mata ayah dan ibu berkaca-kaca.

“Kamu jadi mau masuk SMPN 1?” tanya ibu.

“Iya, Bu…” jawabku.

“Memang anak ayah ini pengen jadi apa?” tanya ayah.

“Nurani pengen pintar bahasa inggris seperti ayah yang jadi guru favorit di sekolah,” jawabku bersemangat.

“Terserah kamu mau jadi apa. Yang penting lakukan yang tebaik. Dan ingat! Tetap di jalan Allah. Serahkan semua ke Allah. Dia pasti akan kasih kamu yang terbaik,” ucap ayah.

Senang sekali aku mendengar nasihat ayah. Kudekap ayahku, lalu kucium keningnya. Aku berharap ia segera sembuh.

Tuhan mengabulkan harapanku.3 hari kemudian, ayah keluar dari rumah sakit. Aku begitu senang dengan kesembuhannya.

5 hari berselang, aku didampingi ayah mendaftar di SMPN 1 Bondowoso. Ya, SMP favorit di daerahku. Beruntung sekali aku diterima di sana tanpa tes karena nilaiku yang tinggi. Sekali lagi, aku membuat ayah bangga dengan berbagai macam prestasi yang kutorehkan di sana walau aku masih kelas 1. Aku berhasil menjuarai berbagai macam lomba matematika dan pidato bahasa inggris.

“Aku anak ayah. Aku harus bisa seperti ayah,” pikirku sambil mengingat ayah yang sudah resign jadi guru.

Saat liburan awal semester kelas 2, ayah kembali jatuh sakit. Ya, ayah memang tak sekuat dulu lagi. Seperti biasa, ayah dirawat di Jember. Aku masih belum sempat menengoknya. Ini masih hari aktif sekolah. Aku selalu pulang jam 4 sore.

Hari ini hujan deras. Ayah masih dirawat di rumah sakit. Aku masuk lewat pintu belakang rumah dalam keadaan basah kuyup. Kulihat Kak Rizal, kakakku yang keempat berbicara di telepon sambil menuangkan minuman.

“Jadi obat hepatitis ayah ketinggalan di rumah? Gimana kabar penyakit jantung ayah, Bu?”

Pertanyaan itu serasa petir yang menyambar. Aku begitu terkejut. Air mataku bercucuran deras layaknya deras hujan di luar.

“Kak, jadi ayah sakit jantung sama hepatitis?” tanyaku seusai Kak Rizal menutup telepon.

“Kamu di situ sejak tadi, Nur?” Kak Rizal tak menjawabnya.

“Iya, Kak. Kak, jawab pertanyaanku!”

“Iya, Nur. Ayah memang kena komplikasi. Sakit jantung dan hepatitis.”

“Kenapa nggak ada yang kasih tau aku, kak?”

“Kamu masih kecil, Nur. Belum saatnya kamu ngerti.”

“Kakak tau kan gimana berartinya ayah buat aku? Ayah segalanya buat aku.”

“Iya, Nur. Kakak ngerti. Kamu yang tenang ya? Ayah baik-baik aja kok. Kata ibu besok ayah udah bisa pulang. Tenang ya? Sekarang kamu ganti baju dulu biar nggak sakit. Jangan bikin ayah dan ibu khawatir.”

Pernyataan Kak Rizal sedikit menenangkan hatiku.

“Ya, Kak.”

Semenjak itu aku lebih perhatian ke ayah. Aku takut kehilangan ayahku tercinta, guruku, pelangiku. Sungguh, ia begitu berarti bagiku.

Tapi, apa arti semuanya jika Tuhan berkehendak lain. Pertengahan Bulan Ramadhan 2008, ayahku sekarat di rumah sakit. Aku tak tahu apa penyebabnya. Mungkin salah makan. Kali ini sungguh menyedihkan. Ayahku tercinta koma. Aku memutuskan untuk izin sekolah. Tak sanggup kutinggalkan ayah meskipun ada ibu dan kakak-kakakku di sampingnya.

3 hari berlalu. Tak ada perubahan. Ayah tetap saja tertidur. Aku tak mampu melihatnya menderita seperti ini. Aku selalu berdoa agar ia terbangun.

Di samping ranjang ayah, aku shalat malam. Kuluapkan segala isi hatiku. Aku berdoa. Menangis sejadi-jadinya kepada Tuhan, Sang Maha Segala-galanya.

“Ya Allah, aku hamba-Mu yang lemah. Tolong kasihani aku. Ayah adalah segalanya bagiku. Kumohon jangan cabut nyawanya. Izinkan dia tetap berada di sampingku. Izinkan aku memiliki hari-hari yang indah lagi bersamanya. Ya Allah, mungkin jika Kau benar-benar ingin memanggilnya, tolong…. Jangan renggut ia. Ia begitu berarti bagi keluarga kami. Jika Kau mau, kurangi saja sisa umurku. Aku rela, ya Rabb. Jangan ambil nyawa orang yang kucintai.”

Aku berdoa dalam hati sambil menangis.

Usai shalat dan berdoa, kulihat ibu dan Kak Amira menatapku. Gerimis nampak di mata mereka. Segera kuhampiri kedua wanita yang juga sangat berarti bagiku itu.

“Kamu yang sabar ya, Nur. Yakinlah, Allah pasti sayang kita. Dia pasti akan memberi yang terbaik bagi kita,” ujar ibu.

“Iya, Bu. Nurani percaya.”

Jam 4 pagi, aku dan ibu shalat shubuh berjamaah. Usai shalat, kami berdoa bersama demi kesembuhan ayah. Seperti biasa, air mata kami berlinang.

Saat tengah berdoa, suara Kak Amira memecah keheningan.

“Bu, Nur, ayah sadar. Ayah bangun….”

Aku dan ibu segera berdiri. Kami segera menuju ranjang ayah. Kupegang erat tangan pelangiku itu. Air mataku bukan lagi air mata kesedihan. Air mata itu air mata haru. Ucapan terima kasih pada Tuhan atas limpahan rahmat-Nya. Rasa syukurku dan keluargaku pada Allah. Maha besar Ia atas segala-galanya.

Beberapa hari kemudian, pihak rumah sakit sudah memperbolehkan ayah pulang. Senang sekali rasanya ayah kembali pulih walau ia tak seperti sedia kala. Ia lemah di atas kursi roda, hanya bisa berbaring di kamar, dan sesekali duduk-duduk di ruang tengah. Bagaimanapun aku tetap bersyukur dengan keadaannya sekarang. Lelaki lemah itu bagiku tetap kuat. Lelaki itu tetap guruku. Ia tetap pelangiku.

Inginku hanya satu, memberikan yang terbaik untuk lelaki itu. Ya, aku tetap menjadi yang terbaik di sekolah. Kubuktikan semuanya. Kubuat ayah bangga padaku dengan mendapat nilai terbaik lagisaat pengumuman kelulusan SMP. Ia menangis haru. Begitu pula saat aku diterima di SMAN 2 Bondowoso. Itulah SMA favorit tempat ayah dulu mengajar. Ayah tersenyum padaku dengan mata berkaca-kaca.

Kumulai hariku di sana dengan motivasi membahagiakan ayah. Kulakukan semua yang terbaik. Tak lupa kuberdoa. Doa untuk keberhasilanku juga doa untuk ayah. Ya, setahun ini aku tak pernah absen berdoa setiap selesai shalat untuk kesehatan ayah. Setahun ini aku berdoa dengan doa yang sama saat ayah koma. Aku tak mau kehilangannya. Tak sanggup aku melepasnya.

Aku berhasil dengan usahaku. Aku berhasil menjadi rangking 2 di sekolah. Jabatan sebagai wakil ketua di English Club kududuki. Kutorehkan prestasi dengan memenangkan lomba debat bahasa inggris bersama kedua sahabatku, Viky dan Sofian di awal semester kelas 1. Ayah begitu bangga. Anaknya dapat mengikuti jejaknya. Tak hanya ayah, semua anggota keluargaku turut senang.

Kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Tentang kesehatan ayah, Tuhan berkehendak lain. Ayah jatuh tak sadarkan diri lagi pada pertengahan bulan puasa 2009. 4 hari sudah ia tak bangun. Kami cukup terpukul. Begitu lama ia koma.

Seperti biasa, aku terus berdoa. Aku berharap keajaiban datang.

Pagi hari keenam, seperti biasa aku berdoa seusai shalat malam. Aku bercucuran air mata. Begitu pula ibu yang menyaksikanku dari sofa dekat pintu bersama kelima kakakku.

Usai shalat ibu memanggilku. Ibu berbicara kepada kami berenam dengan bercucuran air mata.

“Nak, ibu yakin kalian semua tahu bahwa kita sudah melakukan yang terbaik untuk ayah. Segalanya telah kita lakukan untuk ayah. Sekarang, sudah saatnya kita menyerahkan semuanya pada Allah. Jika Allah memang berkehendak memanggil ayah kembali, kita harus merelakannya. Kita harus ikhlas,” ujar ibu pada kami.

“Apa, Bu? Kenapa Ibu begitu tak peduli pada ayah?” sanggahku ketika mendengar ucapan ibu yang terkesan pasrah tak peduli.

“Bukan begitu, Nur.. bukan begitu maksud ibu.”

“Nur, biar aku yang jelaskan. Kamu tau? Dengan kamu terus-terusan memohon supaya ayah tetap hidup, kamu nyiksa ayah. Kamu lihat, ayah terus-terusan koma. Nggak  tentu hidup atau mati. Bolak-balik masuk rumah sakit. Ayah makin tersiksa, Nur. Sebaiknya kita serahkan pada Allah untuk ngasih yang terbaik buat ayah dan kita,” jelas Kak Amar dengan lembut.

“Iya, Nur. Jangan egois. Coba pikirkan kebahagiaan ayah. Kamu harus percaya bahwa Allah pasti akan ngasih yang terbaik,” sahut Kak Rizal.

Aku hanya terdiam. Aku kesal dengan semuanya. Mengapa mereka terkesan membiarkan ayah pergi? Kutatap semua wajah yang bercucuran air mata itu. Mereka semua terdiam seolah memberiku waktu untuk berpikir.

Sehari penuh aku berpikir. Mungkin mereka bnar. Aku tak boleh egois. Mungkin ayah akan lebih bahagia di alam sana. Kuserahkan semua pada Tuhan. Aku harus ikhlas. Aku yakin, dengan keikhlasan semuanya akan menjadi baik.

Pagi hari ketujuh, aku berdoa seusai shalat tahajjud setelah pemikiran panjang tentang kata yang terdiri dari 10 huruf. Keikhlasan.

“Ya Allah, maafkan aku tak berpikir panjang. Aku terlalu egois. Maafkan aku ya Rabb. Kini kuserahkan semua pada-Mu. Aku hanya minta yang terbaik dari-Mu untuk ayahku. Hidup dan mati adalah kehendak-Mu. Jika mati memang yang terbaik, ambillah ia. Aku rela,” pintaku pada Sang Kuasa. Tak sanggup kubendung air mataku.

Dini hari pukul 04.20 setelah kami shalat shubuh berjamaah, kami menghampiri ayah.  Kupegang erat tangan ayah. Dingin.

“Tangan ayah dingin sekali,” ujarku cemas.

Kak Amar yang seorang dokter segera merenggut tangan ayah dariku. Segera ia raba tangan itu, mencari nadinya.

“Ayah udah nggak ada. Kita harus ikhlas. Sabar ya?” ucap Kak Amar.

Hening. Semua bercucuran air mata. Kudekap tubuh ayahku. Panutanku itu telah tiada.

“Kalian semua ikhlas kan, nak?” tanya ibu.

“iya, Bu,” jawab kelima kakakku.

Aku hanya menangis sambil memegang tangan ayah yang dingin itu.

“Nur, kamu ikhlas kan?” tanya ibu seraya merangkulku.

“Iya, Bu. Nurani yakin ini yang terbaik dari Allah. Nurani ikhlas,” jawabku.

Kurangkul ibu erat-erat. Aku yakin, ayah pasti bahagia melihatku ikhlas melepasnya. Aku yakin, dengan kami ikhlas melepasnya, kami pasti akan dipersatukan kembali dengannya kelak.

Pagi itu, jenazah ayah dibawa pulang ke rumah kami di Bondowoso. Selayaknya umat islam lainnya, jenazah ayah dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Kami sekeluaga menyalatkan jenazah ayah bersama-sama. Ini bentuk penghargaan terakhir kami untuk ayah.

Malam itu, aku termenung. Kupikirkan kembali semuanya. Aku tak menyesal sedikitpun akan keputusanku. Kuingat kembali kata ayah. “Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita.” Aku percaya betul ucapan ayah itu.

Perlahan, kutarik secarik kertas. Kuungkap segala isi hatiku dalam beberapa sajak.

Sajak persembahan untuk ayahku itu kini terbingkai dalam pigura di meja belajarku. Ya, ayah akan selalu ada dalam hatiku.

Nada telepon masuk membuyarkan semua lamunanku. Kulihat layar ponselku.

“Viky? Ada apa?” pikirku.

Segera kuangkat telepon itu.

“Iya, Vik?”

“Haduh, bu ketum baru ini gimana sih? Dari tadi pesanku nggak dibalas-balas.”

“Duh, maaf deh..”

“Eh, Sofian udah dikasih tau belum hari ini ada latihan debat? Miss Ratih tadi tanya aku tentang registration form kita. Ada di kamu kan? Udah diisi?”

Banyak sekali pertanyaan Viky. Kujelaskan panjang lebar semuanya padanya sampai semua pertanyaannya terjawab.

Setelah itu, perhatianku kembali tertuju pada foto dan puisiku itu. Kulirik benda yang ada diantaranya, jamku. 06.40.

“20 menit lagi latihan debat!”

Segera ku bersiap-siap. Kumasukkan beberapa buku yang berserakan di atas meja lalu kutinggalkan kamarku.

“Doakan aku, Ayah. Semoga aku mampu mengemban tugasku sebagai ketua English Club di sekolah. Semoga aku bisa membuat ayah bangga. Doakan aku berhasil, Yah. Kau tetap guruku,” ujarku dalam hati.

Anonymous

Get in touch

Company LTD Street nr 100, 4536534, Chicago, USA

(212) 555 55 00 or (212) 555 55 00

E-Mail: Somemail@gmail.com

Twitter: twitter

Popular
Recent
Untuk mu, negeri ku

Oh…negeriku Negeri sejuta warna Negeri yang indah dan makmur Negeri…

Ikhlas Dalam Berjuang – Humas

Departemen humas adalah suatu departemen yang bergelut di bidang hubungan…

CSS Berqurban “manifestasi rasa kepedulian sosial”

ولكل أمة جعلنا منسكاً ليذكروا اسم الله على ما رزقهم…

CSS MoRA, Padukan Leadership dan Kepesantrenan

CSS MoRA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religion…

Sunny day

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Sed pharetra…

TAQWIM 2018

TAQWIM (Tadribul Qiyadah Wa Idaratil Munadlomah) Dalam rangka mengembangkan kompetensi…

CSS Olympiad 2017

CSS Olympiad 2017 Olahraga merupakan hal yang sangat memalaskan bagi…

Santri On Vacation

Santri On Vacation (Stasion) Oleh :Ahmad Reza Hakimi Hari minggu…

ABDI PESANTREN 2018

ABDI PESANTREN Oleh : Afif Al Asyad Absen atau Abdi…

Pengajian Kitab Risalatul Muawwanah Desember 2017

  Hati-hati janganlah berpindah posisi fisik kecuali untuk sesuatu yang…

Search on site

Categories list

  • Artikel (19)
  • Berita (23)
  • Berita Terbaru (48)
  • Cerpen (1)
  • City (6)
  • CSS Berkarya (4)
  • Dagri (20)
  • Dikesma (7)
  • Foto (14)
  • Galeri (15)
  • Hublu (11)
  • Humas (15)
  • Kominfo (12)
  • Lain-lain (19)
  • Life (2)
  • Majalah Istiqomah (1)
  • Nature (3)
  • Ngaji Rutin (47)
  • People (4)
  • Prestasi (6)
  • Puisi (1)
  • Syi'ar (13)
  • Uncategorized (1)
  • Vehicle (2)
  • Video (1)

Blog Tags

Abdi Pesantren Baksos Berazam car chat city CSS MoRA CSSMoRA ITS Dakwah Kreatif day drive gallery Hari Santri Hari Santri Nasional Ied Greeting Kaderisasi CSSMORA ITS KPK life Lomba Mahasiswa Baru CSSMoRA ITS 2014 Makna Niat Menuntut Ilmu morning MTQ Mahasiswa Multiplikasi Niat nashoihud diniyah nature Ngaji Santri Niat Baik night PBSB pbsb 2013 people Pesantren Nurul Jadid popular Posko puasa quote Ramadhan Risalatul Muawanah Santri Seleksi Niat sky video woman

About Company

Fusce dapibus, tellus commodo, tortor mauris condimentum utellus fermentum, porta sem. Mauris adipiscing mauris fringilla

(212) 555 55 00 or (212) 555 55 00, Company LTD Street nr 100, 4536534, Chicago, US, sales@yourwebsite.com

Kultwit

CSS MoRA ITS Follow me
Tanggal 5 juli 2011 kemaren,pengumuman hasil matrikulasi adik-adik PBSB ITS 2011, alhamdulillah sebagian besar hasilnya bagus..
over a year ago
Bismillah, mecoba hal-hal baru untuk membuat sebuah terobosan baru...
over a year ago

Recent posts

  • TAQWIM 2018

    TAQWIM (Tadribul Qiyadah Wa Idaratil Munadlomah) Dalam rangka mengembangkan kompetensi…

  • CSS Olympiad 2017

    CSS Olympiad 2017 Olahraga merupakan hal yang sangat memalaskan bagi…

  • Santri On Vacation

    Santri On Vacation (Stasion) Oleh :Ahmad Reza Hakimi Hari minggu…

Facebook Page

Powered by Wordpress. Built on the OneTouch.